2 Nov 2025, Sun

Dunia game MMORPG gagal terus menjadi sorotan di industri game. Ada masa di mana judul-judul MMORPG begitu populer dan digemari, menawarkan dunia terbuka luas dengan mob dan bos yang terus-menerus muncul, menciptakan pengalaman tak terlupakan bagi para gamer. Mengumpulkan party, bergabung dengan guild, dan menuntaskan raid adalah rutinitas yang membentuk komunitas erat. Namun, belakangan ini, magis tersebut seolah perlahan memudar.

Judul-judul MMORPG baru terkesan tidak mampu membangkitkan hasrat untuk terus dimainkan. Tidak jarang sebuah game yang baru rilis langsung menemui ajalnya dalam satu atau dua tahun operasional. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: mengapa **game MMORPG gagal** dan sulit bertahan? Apakah era game seperti ini sudah berakhir? Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai penyebab mengapa raja live service game yang perkasa ini seolah sekarat, berdasarkan laporan dari Gamebrott.

Mengingat Kembali Masa Keemasan MMORPG

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pudarnya genre live service game MMORPG, penting untuk mengingat apa yang membuatnya menjadi primadona di masa lalu. Dulu, salah satu jenis game yang paling ramai dimainkan di warnet adalah judul-judul MMORPG seperti Ragnarok Online, Yulgang, Atlantica, dan RF Online. Bagi banyak gamer, MMORPG bukan hanya sekadar game, melainkan sebuah gaya hidup dan tempat untuk membangun komunitas, jauh sebelum era media sosial seperti sekarang.

Game MMO adalah wadah bagi gamer untuk tumbuh dan berkembang. Anggota party terasa seperti sohib dekat, dan anggota guild layaknya keluarga besar. Ikatan sosial yang kuat ini menjadi daya tarik utama yang membuat pemain betah berlama-lama di dunia virtual.

Alasan game MMORPG gagal bertahan lama
Alasan **game MMORPG gagal** tidak bertahan lama.

Namun, seiring waktu, sihir yang begitu kuat ini mulai memudar. Berbagai judul MMO besar terpaksa menutup server-nya. Sementara itu, judul-judul MMORPG baru yang diharapkan menjadi pengganti tidak kunjung datang. Sekalipun ada, banyak yang tidak mampu bertahan lama, bahkan sudah bisa diprediksi akan tutup dalam beberapa tahun sejak hari pertama rilis.

Investasi Mahal dan Risiko Tinggi dalam Pengembangan MMORPG Baru

Ada masalah fundamental terkait alasan mengapa **game MMORPG gagal** dan jarang bisa sukses. Pengembangan game MMO adalah investasi yang sangat mahal dan penuh risiko. Tidak jarang, untuk membuat sebuah game baru dari dasar, dibutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun dengan biaya pengembangan yang tidak sedikit.

Dorongan ini sering kali membuat publisher harus menerapkan sistem monetisasi yang bisa meraup keuntungan dalam waktu cepat untuk mengembalikan biaya pengembangan yang sudah dikeluarkan. Contoh kasusnya adalah New World, game MMO dari Amazon Games. Proyek ambisius ini juga diprediksi akan menghembuskan napas terakhirnya di tahun 2026 nanti, menunjukkan betapa sulitnya menjaga kelangsungan live service game.

Janji Muluk dan Underdeliver: Jebakan Game MMORPG Modern

Sering kali, setiap ada judul MMORPG baru yang beredar, janjinya selalu sama: game ini akan “berbeda dari yang sebelumnya” dengan “gameplay yang menjanjikan”. Namun, tidak jarang ketika sudah dicicipi, tidak ada hal baru yang mereka sebutkan itu berhasil membuat player betah.

Kebanyakan pengembang terlalu ambisius dalam membuat game mereka menjadi “the Dark Souls of MMORPG” lengkap dengan combat yang susah, atau raid dengan skala dan fase kompleks, namun tidak memiliki arah yang jelas. Pengembang biasanya memasukkan terlalu banyak atau menjanjikan terlalu muluk, namun berakhir underdeliver, menjadi salah satu faktor mengapa **game MMORPG gagal** memenuhi ekspektasi.

Pengalaman game MMORPG baru terkadang biasa saja
Pengalaman yang ditawarkan **MMORPG baru** terkadang biasa saja.

Contoh paling nyata yang terjadi belakangan ini adalah game Elyon. Game yang menjanjikan combat udara dan tema steampunk ini berakhir dengan optimalisasi seadanya, cerita dan konten in-game yang tidak menarik, serta grafis yang buruk, yang kerap menjadi kritikan dari mereka yang mencoba judul tersebut. Di saat perilisan game kini semakin cepat, batasan untuk masuk dari judul-judul MMO menjadi kian tinggi.

Mereka tidak bisa lagi menjanjikan hal unik namun berekspektasi player mau menunggu game-nya dipoles sambil berjalan. Jika sebuah game tidak cukup unik sejak awal, maka potensi ditinggalkan sudah hampir pasti, terutama untuk live service game MMORPG yang biasanya tidak sering mendapatkan kesempatan kedua.

Game MMORPG baru tidak menarik dan terkesan generik
Banyak **game MMORPG baru** terkesan generik dan tidak menarik.

Judul-judul yang dibuat untuk sekadar cash grab saja tentu akan memiliki retensi player lebih rendah dibandingkan judul yang dikembangkan dengan passion seperti Final Fantasy XIV dan bahkan sekelas MMO shooter Helldivers II sekalipun. Ketika game hanya berisikan daily yang sama diulang setiap hari, maka ia akan lebih mirip seperti pekerjaan kedua dibanding memainkan game. Sayangnya, kondisi seperti itu sudah mendarah daging dan jadi formula dari setiap MMORPG baru, terutama dari Korea Selatan. Jadinya, game baru rilis ini terkesan seperti carbon copy dari judul sebelumnya namun hanya dibungkus dengan nama yang berbeda, oleh publisher yang berbeda, dengan formula yang sama.

Ekspektasi Semu dan Rumput Plastik Murahan

Jika kamu berpikir player tidak memberikan kesempatan untuk sebuah game MMO, maka anggapan itu juga sama salahnya. Kebanyakan gamer yang sudah kadung bosan dan bermaksud mencicipi MMORPG baru juga sering ingin memainkan latest and greatest yang dijanjikan oleh judul-judul baru. Mungkin game tersebut benar lebih revolusioner, atau menawarkan apa yang selama ini tidak ada di game yang mereka mainkan saat ini. Secara objektif, judul baru ini bisa lebih baik.

Namun, tidak jarang ekspektasi itu harus sirna usai gigitan pertama. Ia ternyata bukan rumput tetangga yang lebih hijau, melainkan rumput plastik murahan yang dibeli di supermarket dengan harga mahal pula. Tidak jarang mereka yang masih memainkan game MMO dan berusaha masuk ke judul baru malah berakhir kecewa, dan ujung-ujungnya menyerah. Rumput hijau yang menggoda itu ternyata masih kalah dengan apa yang ada di halaman kita, menjadi salah satu alasan mengapa **game MMORPG gagal** menarik pemain baru.

Tidak jarang live service game MMORPG jadul masih memberi ruang untuk bernapas. Dengan gaya bermain yang lebih simpel seperti Ragnarok Online, kita tidak perlu mengikuti konten yang didesain untuk terus dimainkan. Ada hari di mana kita cuma ingin santai di tengah kota, AFK istilah kerennya. Hari di mana tidak perlu melakukan grinding, tidak perlu raid, cukup bercengkerama dengan sesama player.

Kompleksitas Berlebihan dan Gatekeeping Komunitas

Kebanyakan MMORPG baru juga tidak didesain untuk player lama yang kembali memainkan game tersebut setelah absen untuk jangka waktu lama. Memang dalam beberapa kapasitas, player tersebut diberikan item untuk mengejar ketertinggalan, seperti auto-level max, set senjata dan armor yang cukup kuat, atau bahan-bahan lainnya.

Permasalahan utamanya adalah game sudah berubah menjadi terlalu kompleks untuk diikuti. Item baru menjadi sangat bloated, jumlahnya masif, dan kebanyakan tidak bisa digunakan baik karena limitasi level, class, atau batasan lainnya. Hasilnya, player yang baru saja kembali ini merasa kewalahan karena learning curve yang terlampau berat.

Timpangnya pengalaman MMORPG untuk player yang kembali
Terlalu timpang bagi player yang kembali ke **game MMORPG gagal**.

Belum lagi komunitas game itu sendiri tidak jarang melakukan gatekeep dan sulit untuk menerima player baru yang punya gear seadanya. Guild yang kompetitif sudah pasti penuh dengan player aktif setiap hari, sedangkan guild yang lebih kasual biasanya tidak bisa membantu lebih banyak karena gear mereka juga seadanya. Kalau sudah begitu, rasanya kembali ke game yang sempat membuat mereka bergairah bermain sepanjang hari ini terasa seperti menelan pil pahit. Teman guild sudah tidak aktif, dikombinasikan dengan desain game yang bukan untuk returnee, sudah cukup untuk membuat mereka berhenti sekali lagi, menambah daftar **game MMORPG gagal** dalam mempertahankan pemain.

Pergeseran Sosial: Media Sosial Menggantikan Peran Komunitas MMORPG

Masuk ke pembahasan sosial, dulu memainkan game MMORPG gagal identik dengan membangun komunitas sesama player baik itu dalam party maupun guild. Rasa haus untuk terus menjalin hubungan itu memang hanya bisa didapatkan dari game online. Belum eksis masa di mana media sosial mengambil alih hidup kita, di mana chat dengan teman semudah berbicara di Discord.

Sarana sosialisasi terbaik yang bisa dimiliki gamer ketika itu adalah dalam wujud video game, spesifiknya MMORPG. Sedangkan sekarang, fungsi itu sudah diambil alih oleh media sosial. Fenomena ini menimbulkan masalah baru, pergeseran minat pasar yang berujung pada kurangnya regenerasi player baru.

Media sosial gantikan peran sosial MMORPG
Media sosial kini menggantikan peran sosial **live service game** MMORPG.

Padahal, agar sebuah genre bisa bertahan, ia butuh regenerasi dari player-player yang jauh lebih muda. Jika game hanya diisi oleh gamer yang berumur senior saja, yang ada mereka sudah nyaman dengan judul lama dan tidak akan mau mencoba MMORPG baru. Perlahan, game baru tersebut akan semakin sepi. Kota yang awalnya ramai akan berubah menjadi lahan kosong tak berpenghuni. Genre game tersebut pun secara simbolis telah berubah dari awalnya misal fantasy medieval menjadi post apocalyptic, karena minimnya jumlah player.

Monetisasi Buruk dan Sindrom Pay to Win

Akar masalah utama yang biasanya membuat **game MMORPG gagal** tidak jauh dari monetisasi yang buruk. Sering kali ketika ada forum yang membuka diskusi “mengapa game X gagal?”, jawaban yang keluar biasanya template. “Game ini terlalu pay to win” atau “jarak antara F2P dan P2W terlalu jomplang.”

Game yang gagal memberikan keseimbangan antara dua segmen pemain mereka (pemain gratisan dengan whaler) biasanya berujung pada turunnya angka retensi pemain. Buat apa mereka memainkan game terus-menerus jika hasilnya akan selalu terpaut jauh dari gamer dengan kedalaman kantong tak terhingga dan uang tak berseri.

Monetisasi buruk game MMO penyebab kegagalan
Monetisasi buruk menjadi penyebab **game MMORPG gagal**.

Sindrom akut ini yang membebani salah satu game asal Korea Selatan yaitu Lost Ark. Selain daily grind yang melelahkan, ia juga kerap menjadi sasaran kritikan gamer akibat monetisasi yang rakus. Ini menjadi contoh nyata bagaimana model bisnis yang tidak adil bisa membuat sebuah live service game kesulitan bertahan.

Dominasi Game Gacha Lintas Platform dan Lahir di Era yang Salah

Mungkin kamu mengikuti kisah Blue Protocol, game MMORPG buatan Bandai Namco Online yang harus tutup belum dua tahun dari perilisannya. Padahal, ia sudah digadang menjadi game MMO masa kini dengan hype yang tinggi pula. Lantas mengapa begitu rilis, ia gagal? Bahkan di pasar Jepang sendiri, game ini gagal meraih perhatian setelah beberapa bulan berjalan.

Jika spesifiknya membahas tentang Blue Protocol, sebenarnya masalah pada game ini punya beberapa lapisan yang kompleks pula. Hanya saja, gamer di Jepang juga tampaknya lebih memilih memainkan game gacha yang sama-sama open world seperti Wuthering Waves atau Genshin Impact, ketimbang harus grinding berjam-jam di game yang repetitif.

Populernya model gacha game MMORPG baru
Populernya model gacha membuat **MMORPG baru** kalah saing.

Belum lagi gamer yang banyak beralih memainkan game yang lintas platform. Game jenis ini tidak menawarkan gameplay loop yang lama, bisa berhenti kapan saja, dan proses yang relatif lebih cepat dibandingkan grind ala MMORPG. Belum lagi game mobile sekarang biasanya dibatasi oleh stamina sehingga konten tidak bisa diselesaikan dalam sekali jalan. Berbeda dengan game MMO di mana progres tidak terhalang oleh stamina, model grind tak terhingga juga membuat player baru merasa kewalahan.

Tidak jarang game MMORPG gagal berkualitas terasa seperti lahir di era yang salah, ketika model game mobile yang lebih fleksibel sudah terlanjur matang. Game seperti Blue Protocol seharusnya akan bisa bertahan jika rilisnya 10 tahun lalu, ketika game open-world anime style tidak sepopuler saat ini, yang diisi oleh game gacha Tiongkok.

Gagalnya MMORPG bukan karena ia tidak lagi mampu menghasilkan ide, namun karena berbagai aspek yang membuatnya populer sudah mulai hilang atau ditinggalkan. Game yang dulunya berhasil menculik kita selama ratusan hingga ribuan jam dalam dunia virtual tersebut kini terasa seperti pekerjaan kedua dengan sistem monetisasi yang rakus pula. Apakah genre live service game ini telah mati? Rasanya tidak, namun untuk bisa menemukan judul MMORPG baru yang sukses rasanya akan seperti menunggu hujan turun di gurun.

By admin1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *